universitas gunadarma

Sabtu, 16 Mei 2015

Google Cardboard adalah sebuah konsep unik. Headset ini mesti dirakit atau do-it-yourself (DIY) dari potongan kardus, dibentuk dan dilipat sedemikian rupa sehingga menjadi sebentuk kacamata.
oik yusuf/ kompas.com
Bentuk awal Google Cardboard, berupa lembaran kardus sebelum dibentuk menjadi headset dengan dilipat-lipat
"Unit" Cardboard yang dibagikan kepada pengunjung Google I/O berupa kardus yang telah dipotong mengikuti pola dan tinggal dilipat layaknya origami.

Namun, Cardboard juga bisa dibuat sendiri dari kardus biasa dengan mengikuti pola rancangan yang disediakan oleh Google.

Cardboard tak memiliki unit display khusus yang memproyeksikan gambar 3D ke mata pengguna. Sebagai  gantinya, digunakanlah sebuah ponsel Android biasa dan sepasang lensa yang juga bisa dibeli sendiri.

Smartphone disisipkan ke dalam Cardboard sehingga layarnya menghadap ke pasangan lensa, yang akan memproyeksikan tampilan layar itu ke mata pengguna. Ponsel yang digunakan bisa apa saja, asalkan memakai sistem operasi Android.
oik yusuf/ kompas.com
Bentuk jadi Google Cardboard setelah selesai dirakit
Namun tak semua ukuran smartphone pas untuk disisipkan ke dalam Cardboard. Perangkat sederhana ini agaknya sengaja dirancang untuk memuat Nexus 5 yang juga besutan Google.

Tanpa sentuhan

Sebelum memasang smartphone, pengguna bisa menjalankan aplikasi demo Cardboard yang disediakan Google di toko aplikasi Play Store. Setelah aplikasi berjalan, pemakai Cardboard tak perlu lagi menyentuh layar smartphone untuk navigasi.

Bagaimana caranya? Untuk memilih aneka macam demo di aplikasi Cardboard, pengguna tinggal menolehkan kepala ke arah kiri dan kanan. Goyangan kepala dideteksi oleh aneka macam sensor padasmartphone, dan tampilan menu akan mengikuti arah pandangan mata pengguna.

Pilihan yang terseleksi di menu akan di-highlight, kemudian bisa dijalankan dengan menggeser magnet berbentuk bulat yang ada di sisi samping Cardboard.
oik yusuf/ kompas.com
Tombol magnet di sisi kiri Google Cardboard digunakan untuk memilih menu
Magnet ini digeser ke arah bawah menggunakan jari. Smartphone akan mendeteksi pergeseran magnet tersebut dan menafsirkannya sebagai perintah untuk menjalankan (“klik”) menu yang dipilih.

Begitu jari dilepas, magnet akan kembali terdorong dengan sendirinya ke arah atas karena di sisi bawah terdapat magnet lain dengan kutub yang sama sehingga keduanya saling "menolak".

Metode input yang cerdik tersebut sengaja dibikin oleh Google agar pengguna tak perlu bolak-balik membuka smartphone untuk menjalankan menu aplikasi Cardboard. Headset ini pun bisa dipakai tanpa menyentuh layar smartphone.

Penggunaan smartphone sebagai penampil gambar dan pusat pemrosesan membuat Cardboard tak perlu memiliki hardware khusus.

Untuk menjalankan fungsi “back” atau kembali ke menu utama, headsetberikut smartphone cukup digeser dari orientasi landscape (horizontal) ke portrait (vertikal).

Tiga dimensi

Seperti halnya teknologi VR lain, Cardboard menyajikan dua buah gambar terpisah pada layar smartphone. Lensa pada Cardboard memproyeksikan tampilan ini pada mata pengguna sehingga mencakup semua bidang pandang mata.

Kedua gambar masing-masing ditujukan buat mata kiri dan kanan pengguna, dan secara otomatis disatukan oleh otak sehingga menjadi sebuah tampilan tiga dimensi utuh. Hasilnya sungguh luar biasa.

Memakai Cardboard tak ubahnya “terjun” ke dalam sebuah dunia lain. Pengguna bisa bebas menoleh ke segala arah di alam VR, 360 derajat, kanan-kiri ataupun atas-bawah.
oik yusuf/ kompas.com
Aplikasi Cardboard menyajikan dua tampilan pada area yang berbeda pada layar smartphone. Dua tampilan ini diproyeksikan masing-masing untuk mata kiri dan kanan
Tampilan museum Versailles dalam salah satu demo di aplikasi Cardboard akan mengikuti pandangan arah pengguna. Begitu pula jalanan Paris pada demo bertajuk Street Vue dan kontur-kontor bumi pada demo Google Earth.

Google memang menyediakan beberapa demo VR di aplikasi Cardboard yang tiap-tiapnya dirancang untuk skenario berbeda. Selain sejumlah demo yang disebut di atas, ada pula demo Photo Sphere, YouTube, dan animasi 3D bernama Windy Day.

Mereka seakan menunjukkan bahwa visualisasi 3D Cardboard bisa dipakai untuk berbagai keperluan, tak hanya game.
 
Sensasi 3D yang dihasilkan membuat semua demo itu seolah tampak benar-benar di depan mata. Sangat mirip dengan efek yang dihasilkanheadset VR Oculus Rift, yang juga pernah dicoba KompasTekno tahun lalu.

Bedanya, Google Cardboard bisa dibuat sendiri oleh peminat, dengan hanya bermodal smartphone Android, kardus, dan sejumlah komponen lain yang harganya relatif tak mahal. Kisaran harga keseluruhan diperkirakan antara 20 dollar AS dan 40 dollar AS (antara Rp 230.000 dan Rp 460.000).

Di Amerika Serikat bahkan sudah ada beberapa pihak ketiga yang menjual Cardboard utuh dengan banderol sekitar 25 dollar AS.